Pasca Majapahit

 

baju adat jawa kemben Original Bedhaya angron akung Dance Javanese Classical Dance

Salah satu kerajaan yang sangat berambisi di Nusantara adalah Majapahit, sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang telah berhasil memadukan Siwaisme dengan Buddhisme. Pendiri Majapahit adalah Raden Wijaya (abad ke-13 M), yang berhasil memenuhi cita-citanya setelah mempersunting empat putri Raja Singasari terakhir. Salah satu putri tersebut adalah Gayatri, seorang yang konon sangat mempengaruhi pemerintahan Majapahit dan Gajah Mada. Setelah kematian suaminya, Gayatri menjadi biksuni. Makam keduanya, bersama dua putri Minangkabau, masih dapat kita kunjungi di Jawa Timur.

 

Di bawah kekuasaan Raden Hayam Wuruk, mahapatih-nya Gajah Mada berupaya menggelorakan kembali cita-cita Mpu Sindok untuk memajukan peradaban bangsa-bangsa di Nusantara. Mahapatih Gajah Mada berupaya merangkul negeri-negeri di Nusantara dalam satu kekuatan konfederasi setelah bernazar dalam sumpah yang kemudian dikenal sebagai “Sumpah Palapa.” Mpu Sindok merupakan pendiri Kerajaan Medang (abad ke-10 M) yang menganut Siwaisme, tetapi memberi penghargaan kepada para pujangga Buddhisme.

 

Osing Banyuwangi Tengger Solo Jogja Sunda Cigugur Madura.jpg

Setelah Majapahit dikuasai oleh raja-raja Muslim dengan berdirinya kesultanan Demak, lalu Pajang dan kemudian Mataram, banyak dari orang-orang Hindu Majapahit yang memutuskan berhijrah ke Gunung Bromo, Banyuwangi di sebelah timur Jawa, dan Pulau Bali. Orang-orang Hindu yang hidup di Bromo dikenal sebagai orang-orang Tengger, sedangkan mereka yang berdiam di Banyuwangi dikenal sebagai orang-orang Osing. Mereka yang berhijrah ke Bali kemudian dapat memelihara adat istiadat dan menggelorakan kerajaan Hindu-Bali yang khas Nusantara.

 

Bukan tidak pernah Mataram dan Osing terlibat perang saudara yang menumpahkan darah sesama anak-anak Jawa. Mataram memang menjadi kesultanan Islam di Jawa yang paling lama berhasil melakukan regenerasi, setelah tumbangnya Demak dan setelah ia berhasil menganeksasi Pajang, terutama melalui jalur perkawinan. Kesultanan Banten dan Cirebon di sebelah barat Jawa bahkan tidaklah seberhasil Mataram. Meskipun Mataram telah terbelah empat menjadi Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta (Solo), Kadipaten Mangkunegara (Solo) dan (berkat Inggris) berdiri pula Kadipaten Pakualam (Yogya), tetapi keempat trah tersebut tetap berpengaruh di Jawa dan Madura, sampai setidak-tidaknya era revolusi kemerdekaan. Ini dapat dilihat antara lain dari bagaimana para bangsawan Jawa dan Madura saling menikahkan anak-anak mereka.

 

Setelah berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada 1945, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menerima hak istimewa untuk tetap menjalankan pemerintahan di bawah gubernur Sultan Yogyakarta. Beberapa tahun lalu, Sultan Yogyakarta yang memilih monogami dan tidak mempunyai keturunan laki-laki, memutuskan untuk menabalkan putri sulungnya sebagai putri mahkota. Ini suatu keputusan ala film “Aladdin 2019” yang kontroversial dan mengguncang mereka yang menolak sultan perempuan. Selama berabad-abad, setelah menganeksasi Pajang (yang dirintis seorang ratu dan beberapa kali dipimpin panglima-panglima perempuan), trah-trah Mataram berupaya berakrobat dengan kaum Islamis demi mempertahankan hak-hak politik kaum perempuan. Dinasti Mangkunegara adalah salah satu contoh yang tercatat selalu berupaya melakukannya dalam setiap pergantian tahta.

 

Badui lebak kanekes.jpg
Lebak Kanekes

Sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur – kediaman suku bangsa Jawa – kekuasaan Islam tak lagi dapat terbendung, sehingga orang-orang Hindu, Buddha, Siwa-Buddha, dan penganut agama adat, menjadi minoritas, hal serupa terjadi di sebelah barat Jawa. Sebelah barat Jawa merupakan kediaman orang-orang Sunda, konon cikal bakal orang-orang Jawa, via wilayah yang kini dikenal sebagai Jawa Ngapak. Kerajaan-kerajaan mereka yang paling terkenal adalah Tarumanegara dan Pajajaran. 

 

Orang-orang Sunda yang masih ingin memelihara agama adat mereka – yang dikenal sebagai Sunda Wiwitan, Jati Sunda, atau Kabuhunan, dan sebagainya, kemudian mengasingkan diri dan membentuk kelompok masyarakat adat. Di antara yang terkenal adalah yang ada di Lebak Kanekes, Banten, dan “kerajaan kecil” yang ada di Cigugur, Kuningan. Wilayah Banten terletak paling ujung di barat Jawa, tak jauh dari Gunung Krakatau. Banten dikenal dalam novel paling populer pada abad ke-19 di Eropa berjudul “Max Havelaar”, karya Eduard Douwes Dekker yang sangat peduli pada masalah kemiskinan akibat kolonialisme. Adapun Kuningan berada di dekat Jawa Tengah, tak jauh dari wilayah Jawa Ngapak.

 

Bilamana di Lebak Kanekes ada dua kelompok adat, yaitu (1) kelompok yang amat menjaga kemurnian adat dengan tidak menggunakan teknologi modern sama sekali dan (2) kelompok yang telah keluar dari kemurnian adat itu, bahkan sebagian telah mengalami Islamisasi, maka mereka yang ada di Cigugur tidak mengharamkan sepenuhnya cara hidup modern. Sebagian dari mereka yang ada di Cigugur terpaksa menganut salah satu dari lima agama pada masa Orde Baru, dan mereka memilih menganut Katholik atau pun Protestan – meskipun, perpindahan agama ini pada mulanya adalah bentuk taqiyah atau untuk menyintas saja agar dapat tetap melestarikan adat istiadat mereka.

@NyaiAdisti, Juli 2019.

basahan 33.png

Leave a comment